Segala puji bagi Allah ta’ala, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebuah renungan dari sepenggal kisah nyata
Beberapa saat lalu, penulis diceritai adik ipar kisah seorang mantan preman yang mendapatkan hidayah mengenal manhaj salaf. Katanya, dulu ketika masih preman, ia amat dibenci masyarakat kampungnya; karena ke-rese-annya; gemar mabuk, berjudi, mengganggu orang lain dan seabrek perilaku negatif lain yang merugikan masyarakat. Namun, tidak ada seorangpun yang berani menegurnya; karena takut mendapatkan hadiah bogem mentah.
Dengan berjalannya waktu, Allah ta’ala berkenan mengaruniakan hidayah kepada orang tersebut. Dia mengenal ajaran Ahlus Sunnah dan intens dengan manhaj salaf. Namun demikian, setelah ia berubah menjadi orang yang salih dan alim, ia tidak kemudian disenangi masyarakatnya, malahan mereka tetap membencinya. Padahal ia tidak lagi mempraktikkan tindak-tindak kepremanannya yang dulu. Bahkan, kalau dulu masyarakatnya tidak berani menegurnya, sekarang malah berani memarahinya, bahkan menyidangnya pula.
Apa pasalnya? Ternyata kebencian tersebut dipicu dari sikap kaku dan keras orang tersebut, juga kekurangpiawaiannya dalam membawa diri di masyarakat.
Dulu dibenci karena kepremanannya, sekarang dibenci karena ‘kesalihan’nya…
Haruskah orang yang menganut manhaj salaf dibenci masyarakatnya? Apakah itu merupakan sebuah resiko yang tidak terelakkan? Adakah kiat khusus untuk menghindari hal tersebut atau paling tidak meminimalisirnya?
Memang betul seorang yang teguh memegang kebenaran, ia akan menghadapi tantangan. Sedangkan di zaman Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam dan kurun ulama salaf saja, ada tantangan bagi pengusung kebenaran, apalagi di akhir zaman ini, di mana kejahatan lebih mendominasi dunia dibanding kebaikan.
Namun yang perlu menjadi catatan di sini, apakah kebencian yang muncul di banyak masyarakat kepada para pengikut manhaj salaf, murni diakibatkan kekokohan mereka dalam berpegang teguh terhadap prinsip, atau dikarenakan kekurangbisaan mereka dalam membawa diri, kekurangpiawaian dalam menjelaskan prinsip dan kekurangpandaian dalam menetralisir pandangan miring masyarakat terhadap prinsip-prinsip Ahlus Sunnah dengan penerapan akhlak mulia? Atau mungkin juga karena enggan melakukan sesuatu yang dikira terlarang, padahal sebenarnya boleh atau justru disyariatkan?
Berdasarkan pengamatan terbatas penulis, juga kisah-kisah nyata yang masuk, nampaknya faktor terakhir lebih dominan.
Dalam makalah sederhana ini, dengan memohon taufik dari Allah semata, penulis berusaha memaparkan peran besar akhlak mulia dalam meredam kebencian masyarakat terhadap pengusung kebenaran, bahkan dalam menarik mereka untuk mengikuti kebenaran tersebut.
-bersambung insya Allah–
Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, Lc., M.A.
Artikel www.tunasilmu.com